Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Pengertian Hukum Perjanjian
Berdasarkan pada asas
kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer, para pihak dalam kontrak
bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
“Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Akan tetapi, yang perlu kita ingat
bahwa asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar
syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPer. Syarat sahnya perjanjian diatur
dalam pasal 1320 – pasal 1337 KUHPer, yaitu:
1. Kesepakatan
para pihak. Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para
pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini,
antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk
mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun
diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling,
mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog,
fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer,
perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya
unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
2.
Kecakapan
para pihak. Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap
dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.
3. Mengenai
suatu hal tertentu. Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak
dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut pasal 1333 KUHPer, objek
perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang
sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPer
menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat
diperdagangkan.
4. Sebab yang
halal. Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.
Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.
Dari butir no. 4, dapat kita lihat
bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Selanjutnya, bila
kita lihat pada pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), kita
temui kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam kontrak:
“Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”
Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu
mendapat perhatian dalam membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian
hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi
syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta
ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun,
diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama
kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak
melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan
ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt
Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu
pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa
agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti
rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki
perlindungan hukum.
Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada
dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat.
Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan,
sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap
prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas
tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh,
jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan
akta otentik Notaris.
Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder
trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin
para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu
daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara
personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat
mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar