Fenomena
inflasi bukanlah hal baru bagi rakyat Indonesia, dalam setahun terkadang kita
sudah dapat memprediksi kiranya kapan saja akan terjadi inflasi. Para ibu rumah
tangga turut berkeluh kesah apabila ditanya bagaimana tanggapan terhadap
kenaikan harga barang baik itu barang pokok maupun kebutuhan sampingan. Sebenarnya,
inflasi itu terjadi karena apa? Salah siapa? Pemerintah? Atau sikap konsumtif
masyarakatnya?
Dikutip
dari laman Wikipedia, dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi,
sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari
suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga
yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator
untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan
harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah
inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang
yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara
untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan
GDP Deflator.
Definisi
simpel dari inflasi itu sendiri adalah keadaan dimana harga barang secara umum
mengalami kenaikan terus menerus atau terjadi penurunan mata uang dalam negeri.
Lalu mengapa inflasi sering terjadi menjelang bulan suci Ramadhan dan Idul
Fitri? Apa penyebabnya?
Sudah menjadi tradisi
umat Islam di seluruh dunia, khususnya Indonesia, ketika memasuki bulan
Ramadhan maupun Idul Fitri mereka menyambutnya dengan perasaan gembira dan suka
cita. Namun, berbarengan dengan kedatangan bulan Ramadhan maupun hari raya Idul
Fitri, sepertinya sudah menjadi hal yang biasa bahwa harga barang dan kebutuhan
pokok lainnya akan merangkak naik. Dan ini sudah menjadi suatu ritual tahunan
yang harus dihadapi umat Islam.
Dalam prespektif Al-Qur’an, sumber munculnya ketidakstabilan di bidang
ekonomi yang berujung pada inflasi tinggi adalah akibat dari penggunaan mata
uang yang menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an. Penyimpangan dimaksud tidak lain
adalah menggunakan mata uang sebagai komoditi dalam rangka untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya (riba), dengan tidak memikirkan penderitaan
orang lain (konsumen).
Kalau dilihat dari sudut ilmu ekonomi, yang memicu terjadinya inflasi
disuatu negara ataupun daerah disebabkan dua faktor. Pertama, Cost
push Inflation, yakni kenaikan harga barang-barang karena adanya
kenaikan biaya produksi. Dapat dikemukakan seperti naiknya harga bahan baku,
kenaikan bunga kredit, naiknya sewa tempat usaha dan kenaikan-kenaikan lainnya
yang berkaitan dengan produksi suatu barang/jasa.
Kedua, Demand Full Inflation, yaitu kenaikan harga barang yang
disebabkan oleh meningkatnyan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa di
pasar. Kasus seperti ini wajar karena menurut prinsip ilmu ekonomi, semakin
tinggi permintaan terhadap sebuah komoditas maka harga komoditas tersebut akan
naik. Nampaknya faktor inilah yang menjadi penyebab utama kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok pada setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri
tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya.
Kita kesampingkan penyebab inflasi terjadi, mari kita bahas mengenai
fenomena inflasi menjelang Idul Fitri.
Kebiasaan
lama yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia memperoleh pendapatan
lebih besar menjelang hari raya. Kenaikan pendapatan tersebut akan menyebabkan
daya beli masyarakat menjadi semakin meningkat. Masyarakat akan lebih banyak
melakukan aktivitas pembelanjaan (pengeluaran) untuk sejumlah kebutuhan di
bulan suci Ramadhan dan hari raya. Misalnya, seperti pembelanjaan kebutuhan
pokok, makanan jadi, pakaian, aksesoris, perhiasan, transportasi, dan
pembelanjaan lain-lain yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pribadi.
Kebiasaan semacam ini sudah menjadi gaya hidup konsumerisme pada umumnya umat
Islam di Indonesia.
Di Indonesia,
kita mengenal istilah Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan bentuk apresiasi
atas tenaga kerja dalam bentuk uang tunai. Hampir bisa dipastikan apabila THR
yang disalurkan akan dibelanjakan langsung atau dibelanjakan dalam waktu dekat.
Pada umumnya, besarnya THR melampaui besarnya penghasilan dalam sebulan.
Ekspektasinya cukup tinggi, bisa mencapai 2-3 kali lipat dari besarnya
penghasilan dalam sebulan. Artinya, jumlah uang beredar yang meningkat di luar
ekspektasi keseimbangan harga akan merubah kurva keseimbangannya menjadi
semakin elastis di mana harga-harga akan semakin mudah untuk mengalami lonjakan
kenaikan.
THR
bukanlah satu-satunya instrumen pendapatan yang memicu terjadinya lonjakan
jumlah uang beredar. Menjelang bulan suci Ramadhan dan hari raya, masyarakat
akan memperoleh tambahan pendapatan (alternatif) yang diperoleh dengan
memanfaatkan jasa pegadaian. Pencairan dana cepat tersebut nantinya akan
digunakan untuk menopang pemenuhan kebutuhan (atau konsumsi) masyarakat
menjelang hari raya. Ini masih belum lagi ditambahkan dengan dana cepat dari
sejumlah rentenir. Ekspektasi atas tingginya peredaran uang tersebut masih
ditambahkan lagi dengan dicairkannya sejumlah simpanan bank (atau lembaga
keuangan) sebagai bagian untuk mendukung aktivitas konsumsi di bulan suci
Ramadhan dan hari raya.
Kebiasaan
masyarakat Indonesia menghabiskan uang THR nya untuk membeli berbagai macam
barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan itulah yang menjadi penyebab inflasi
pada bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Inflasi ini nampaknya
sudah menjadi tradisi menahun dan penyedap rasa menjelang hari kemenangan. Tapi
salah satu keunikan rakyat Indonesia adalah, seberapa tinggi pun kenaikan harga
barang barang yang disebabkan oleh inflasi pada bulan Ramadhan dan menjelang
Idul Fitri, mereka tetap akan membelinya. Memang benar Ramadhan ialah bulan
yang penuh berkah, karena sebagian orang merasakan bahwa rezeki mereka selalu
ada dibandingkan dengan bulan bulan lain di luar Ramadhan, ketika mereka ingin
membeli barang ini itu tapi tidak ada uang, sedangkan pada bulan Ramadhan
mereka selalu dapat membeli apa yang mereka inginkan.
Lalu
ketika terjadi inflasi di bulan Ramadhan, apa yang pemerintah lakukan?
Pemerintah
di negara manapun memiliki kewajiban utama untuk melakukan stabilisasi harga.
Maksudnya stabilisasi dilakukan apabila ditemukan ketidakwajaran di luar
perilaku harga pada kondisi normal. Untuk kasus di Indonesia, persoalan
stabilisasi harga di masa bulan suci Ramadhan dan Lebaran bukanlah persoalan
yang sederhana, karena sumber masalahnya berakar dari kebijakan dan sikap
pemerintah di masa lalu. Kebijakan perekonomian dalam berorientasi pada
pertumbuhan lebih menitikberatkan atau berorientasi untuk mendorong sisi
permintaan, sehingga semakin membentuk gaya hidup yang cenderung konsumtif di
masyarakat. Hal ini masih ditambahkan dengan gaya hidup pejabat dan keluarganya
yang konsumtif menjadi contoh bagi masyarakat. Mengenai pengendalian dan
stabilisasi harga sejak lama lebih berpihak kepada sisi permintaan, bukan
memperhatikan sisi penawaran. Sekalipun demikian, dengan segala kewenangan yang
dimilikinya, pemerintah seharusnya punya otorisasi penuh untuk mengendalikan
harga dari ketidakwajaran dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Bagaimana
sikap kita seharusnya dalam menghadapi inflasi yang selalu terjadi? Caranya mudah,
pergunakanlah uang yang kita miliki dengan baik. Kita harus bisa mengatur
pengeluaran dengan bijaksana, kita harus bisa memisahkan daftar barang mana
saja yang memang kita butuhkan dan mana yang hanya kita inginkan. Jadilah ekonom
yang cerdas, kelolalah uang yang kita miliki dengan sebaik mungkin tanpa
mengurangi kemeriahan Ramadhan dan hari raya kemenangan Idul Fitri yang akan
segera tiba.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar