Sejarah Pra Kolonialisme
Yang dimaksud dengan periode
Pra-Kolonialisme adalah masa–masa berdirinya kerajaan –kerajaan di wilayah
Nusantara (sekitar abad ke – 5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang
secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah nusantara
(sekitar abad ke-15 sampai 17). Pada masa itu RI belum berdiri. Daerah – daerah
umumnya dipimpin oleh kerajaan-kerajaan.
Indonesia terletak di posisi
geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah
posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan
sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat
Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut
Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah
(Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada
abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan
daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa
kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme
politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya
di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat
dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis
produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang
“mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin
emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai
dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah
di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter
banyak berlangsung dalam system perdagangan Internasional. Karenanya, tidak
terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau Impor logam
mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari
luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu
disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaankerajaan di Sumatera bersumber dari
perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan
perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih
dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian
dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain, sistem pemerintahan masih berbentuk
feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
·
Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa
dan rempah–rempah di Maluku.
·
Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil
tambang, dll.
·
Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang
sangat mengandalkan jalur laut.
Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam
sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke
13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan kerajaan–kerajaan yang sangat
menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.
Sejarah Monopoli
VOC
Monopoli perdagangan
VOC di Indonesia – Dengan berbagai cara VOC berusaha menguasai
kerajaan-kerajaan di Indonesia serta pelabuhan-pelabuhan penting. Kecuali itu,
juga berusaha memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah. Bagaimana VOC
menjalankan usahanya tersebut? Pertama-tama berusaha menguasai salah satu
pelabuhan penting, yang akan dijadikan pusat VOC.
Untuk
keperluan tersebut ia mengincar kota Jayakarta. Ketika itu Jayakarta di bawah
kekuasaan Kerajaan
Islam Banten. Sultan Banten mengangkat Pangeran Wijayakrama sebagai
adipati di Jayakarta.
Mula-mula VOC mendapat izin dari
Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Tetapi ketika
gubernur jenderal dijabat oleh J.P. Coen. Pangeran Wijayakrama diserangnya.
Kota Jayakarta direbut dan dibakar. Kemudian di atas reruntuhan kota Jayakarta,
J.P. Coen membangun sebuah kota baru. Kota baru itu diberinya nama Batavia.
Peristiwa tersebut pada tahun 1619. Kota Batavia itulah yang kemudian menjadi
pusat VOC.
Setelah
memiliki sebuah kota sebagai pusatnya, maka kedudukan VOC makin kuat. Usaha
untuk menguasai kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan penting ditingkatkan.
Cara melakukannya dengan politik dividi et impera atau politik mengadu
domba. Mengadu dombakan sesama bangsa
Indonesia atau antara satu kerajaan dengan kerajaan lain. Tujuannya agar
kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC
juga sering ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di
Indonesia.
Untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah, ia memaksakan monopoli, terutama di Maluku. Dalam usahanya
melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan, yaitu sebagai berikut
:
1. Rakyat
Maluku dilarang menjual rempah-rempah kepada selain VOC
2. Jumlah
tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC
3. Tempat
menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC
Agar pelaksanaan monopoli
tersebut benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi dengan
senjata, untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi
pelanggaran terhadap peraturan tersebut di atas, maka pelanggarnya dijatuhi
hukuman.
Hukuman
terhadap para pelanggar peraturan monopoli disebut ekstirpasi. Hukuman
itu berupa pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar
monopoli, dan pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh.
Bukan main kejamnya tindakan VOC
waktu itu. Akibatnya penderitaan rakyat memuncak. Puluhan ribu batang tanaman
pala dan cengkih dibinasakan. Ribuan rakyat disiksa, dibunuh atau dijadikan
budak. Ribuan pula rakyat yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya,
karena ngeri melihat kekejaman Belanda.
Tidak sedikit yang meninggal di
hutan atau gunung karena kelaparan. Tanah milik rakyat yang ditinggalkan, oleh
VOC dibagi-bagikan kepada pegawainya. Karena kekejaman tersebut maka timbulah
perlawanan di berbagai daerah.
Sistem Tanam
Paksa
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), merupakan peraturan yang dikeluarkan Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap
desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku dipasar ekspor,
khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil tanaman ini nantinya harus dijual
kepada pemerintah belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Sedangkan
Penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja selama 75 hari setiap tahun
(20% dari 365 Hari) pada perkebunan milik pemerintah belanda, hal tersebut
menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat.
Namun pada kenyataannya peraturan Sistem Tanam
Paksa (Tanam Paksa) bisa dikatakan tidak sesuai karena
pada prakteknya seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku
ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Kolonial. Tanah yang
digunakan untuk praktik Tanam Paksa pun masih dikenakan pajak
(seharusnya bebas pajak). Sedang Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian
harus bekerja selama setahun penuh (seharusnya hanya 75 hari) di lahan
pertanian Belanda.
Sejarah dan Latar Belakang Tanam
Paksa
Pada tahun 1830 saat pemerintah
belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro (1825-1830),
kemudian Gubernur Jenderal Judo mendapat izin untuk menjalankan
CultuurStelsel (sistem Tanam Paksa) dengan tujuan utama untuk menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan dan mengisi kas pemerintahan jajahan yang saat
itu kosong.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari kebrangkrutan,
kemudian Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia
dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara
yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang. Untuk mnjalankan tugas
yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch
mmfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Awal adanya Sistem tanam paksa karena pemerintal
kolonial beranggapan bahwa desa desa di Jawa berutang sewa tanah kepada
pemerintah kolonial, yang seharusnya diperhitungkan (membayar) senilai 40% dari
hasil panen utama desa. kemudian Van den Bosch menginginkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor
Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk kemudian wajibkan untuk menggunakan
sebagian tanah pertaniannya (minimal 20% atau seperlima luas) dan menyisihkan
sebagian hari kerja (75 hari dalam setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan menjalankan tanam paksa, Pemerintah Kolonial
beranggapan desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya
pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak
tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat kelebihannya. namun Jika kurang,
desa harus membayar kekurangannya.
Oleh karena itu, Van den Bosch mengerahkan
rakyat jajahannya untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di
pasaran ekspor. Berikut Sistem yang disusun Van den Bosch Setibanya di
Indonesia (1830) :
·
Sistem tanam bebas harus dirubah menjadi tanam wajib
dengan jenis tanaman yang telah ditentukan oleh pemerintah.
·
Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena
pemasukannya sedikit serta pelaksanaannya yang sulit.
·
Pajak terhadap tanah harus dibayar dengan menyerahkan
sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah kolonial. Tanam paksa sendiri
diterapkan secara perlahan muali tahun 1830 sampai 1835. Menjelang tahun 1840
sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa.
Bagi pemerintah kolonial (Belanda), Sistem Tanam Paksa
menuai sukses besar. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya dapat
membangun sendiri, tapi punya hasil (laba) bersih 823 juta gulden untuk kas
yang dikirim ke Kerajaan Belanda.
Menurut
informasi dari Wikipedia, Umumnya 30% anggaran belanja Kerajaan Belanda berasal
dari kiriman Batavia. Bahkan Pada tahun 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan
Belanda didapat dari Oost Indische (Hindia Belanda). Pada saat itu Batavia
menjadi sumber modal Kerajaan Belanda untuk membiayaai proyek-proyeknya.
Misalnya, untuk membiayai kereta api di Belanda yang saat itu serba mewah.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus
pada tahun 1870 setelah memperoleh protes keras dari berbagai kalangan di
Belanda, meskipun pada kenyataannya Sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di
luar Jawa masih berjalan hingga tahun 1915. Program tersebut (Sistem Tanam
Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Aturan Tanam Paksa
1. Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan
seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2. Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3. Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah
Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan
dikembalikan kepada petani.
4. Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk
menanam padi.
5. Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6. Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga
untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66
hari.
7. Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh
kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas
secara umum.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak
terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan
rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa
pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban
rakyat.
Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha
memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara
lain sebagai berikut.
1)
Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan
1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman
wajib.
2)
Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3)
Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah
tidak dibayar.
4)
Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman
padi.
5)
Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata
lebih berat daripada di sawah.
6)
Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada
petani, ternyata tidak dikembalikan.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dilaksanakan
oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada dasarnya adalah gabungan dari sistem
pajak tanah (Raffles) dan sistem tanam wajib (VOC). Berikut Isi Tanam Paksa:
· Setiap rakyat Indonesia yang punya tanah diminta
menyediakan tanah pertanian yang digunakan untuk cultuurstelsel (Tanam Paksa)
yang luasnya tidak lebi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami
jenis-jenis tanaman yang laku di pasar ekspor.
· Waktu untuk menanam Sistem Tanam Paksa tidak
boleh lebih dari waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
· Tanah yang disediakan terhindar (bebas) dari
pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
· Rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian
bisa menggantinya dengan bekerja di perkebunan, pengangkutan atau di
pabrik-pabrik milik pemerintah kolonial selama seperlima tahun
atau 66 hari.
· Hasil tanaman harus diberikan kepada pemerintah
Koloni. Apabila harganya melebihi kewajiban pembayaran pajak maka kelebihannya
harga akan dikembalikan kepada petani.
· Penyerahan teknik pelaksanaan aturan Sistem Tanam
Paksa kepada kepala desa.
· Kegagalan atau Kerusakan sebagai akibat gagal panen
yang bukan karena kesalahan dari petani seperti karena terserang hama
atau bencana alam, akan di tanggung pemerintah Kolonial.
Dampak dan Sistem Tanam Paksa
Dampak dan Akibat Tanam Paksa - Pelaksanaan tanam
paksa banyak menyimpang dari aturan sebenarnya dan memiliki kecenderungan untuk
melakukan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, Tanam Paksa
menimbulkan akibat yang bertolak belakang bagi Bangsa Indonesia dan Belanda,
diantaranya adalah sebagai berikut.
Bagi
Indonesia
· Beban rakyat menjadi sangat berat karena harus
menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi
serta membayar pajak .
· Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan
kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
·
Timbulnya wabah penyakit dan terjadi banyak
kelaparan di mana-mana.
·
Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
·
Rakyat Indonesia mengenal tanaman dengan kualitas
ekspor.
·
Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam berbagai
jenis tanaman baru.
Bagi
Belanda
·
Kas Negeri Belanda yang semula kosong menjadi dapat
terpenuhi.
·
Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
(Surplus).
·
Hutang-hutang Belanda terlunasi.
·
Perdagangan berkembang pesat.
·
Amsterdam sukses dibangun menjadi kota pusat
perdagangan dunia.
Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi
bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai
pihak, seperti berikut ini.
1. Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka
menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2. Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di
Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat
penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman
terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih
sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam
paksa dihapuskan.
3. Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi
Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya
yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti
"aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau
Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan
rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda
secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis
dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun
1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling
banyak memberikan keuntungan.
Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal
Sistem ekonomi liberal kapitalis
adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor produksinya
sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara tujuan utama
kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba.
Sistem perekonomian/tata ekonomi
liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan
kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti
memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya.
Dalam perekonomian liberal kapitalis
setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua
orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar- besarnya dan
bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas.
Ciri-ciri.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal kapitalis antara
lain :
1.
Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki
sumber-sumber produksi.
2.
Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung
dalam kegiatan ekonomi.
3.
Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
4.
Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam
mencari keuntungan.
5.
Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
6.
Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonom.
7.
Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan
bermutu tinggi.
Keuntungan dan Kelemahan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis selain memilki
keuntungan juga mempunyai kelemahan, antara lain :
Keuntungan :
a. Menumbuhkan inisiatif dan kerasi masyarakat dalam
kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari
pemerintah.
b. Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber
daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam
perekonomian.
c.
Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
d. Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya
persaingan semangat antar masyarakat.
e. Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena setiap
tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.
Kelemahan :
a.
Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
b.
Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
miskin.
c.
Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
d. Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena
kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
e.
Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena
persaingan bebas tersebut.
Institusi-institusi dalam Ekonomi Liberal Kapitalis.
Ada lima institusi pokok yang membangun sitem ekonomi
liberal kapitalis, yakni:
1)
Hak
kepemilikan.
Sebagian besar hak kepemilikan dalam sistem ekonomi
liberal kapitalis adalah hak kepemilikan swasta/individu (private/individual
property), sehingga individu dalam masyarakat liberal kapitalis lebih
terpacu untuk produktif.
2)
Keuntungan.
Keuntungan (profit) selain memuaskan nafsu
untuk menimbun kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari ekspresi diri,
karena itu keuntungan dipercaya dapat memotivasi manusia untuk bekerja keras
dan produktif.
3)
Konsumerisme.
Konsumerisme sering diidentikkan dengan hedonisme
yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan sebesar-besarnya
selama hidup di dunia. Tetapi dalam arti positif, konsumerisme adalah
gaya hidup yang sangat menekankan pentingnya kualitas barang dan jasa yang
digunakan. Sebab tujuan akhir dari penggunaan barang dan jasa adalah
meningkatkan nilai kegunaan (utilitas) kehidupan. Sehingga masyarakat
liberal kapitalis terkenal sebagai penghasil barang dan jasa yang berkualitas.
4)
Kompetisi.
Melalui kompetisi akan tersaring individu-individu
atau perusahaan-perusahaan yang mampu bekerja efisien. Efisiensi ini akan
menguntungkan produsen maupun konsumen, atau baik yang membutuhkan (demander)
maupun yang menawarkan (supplier).
5)
Harga.
Harga merupakan indikator kelangkaan, jika barang dan
jasa semakin mahal berarti barang dan jasa tersebut semakin langka. Bagi
produsen, gejala naiknya harga merupakan sinyal untuk menambah produksi agar
keuntungan meningkat.
Sejarah dan Perkembangan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
lebih bersifat memberikan kebabasan kepada individu/swasta dalam menguasai
sumber daya yang bermuara pada kepentingan masing-masing individu untuk
mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Hal tersebut tidak terlepas
dari berkembangnya paham individualisme dan rasionalisme pada zaman kelahiran
kembali kebudayaan Eropa (renaisance) pada sekitar abad pertengahan
(abad ke-XVI). Yang dimaksud dengan kelahiran kembali kebudayaan Eropa adalah
pertemuan kembali dengan filsafat Yunani yang dianggap sebagai sumber ilmu
pengetahuan modern setelah berlangsungnya Perang Salib pada abad XII – XV.
Cepat diterimanya kebudayaan Yunani oleh ilmuwan Eropa tidak terlepas dari
suasana masa itu, dimana Gereja mempunyai kekuasaan yang dominan sehingga
berhak memutuskan sesuatu itu benar atau salah. Hal tersebut mendorong para
ilmuwan untuk mencari alternatif diluar Gereja. Dalam hal ini filsafat Yunani
yang mengajarkan bahwa rasio merupakan otoritas tertinggi dalam menentukan
kebenaran, sangat cocok dengan kebutuhan ilmuwan Eropa waktu itu.
Pengaruh gerakan reformasi terus bergulir, sehingga
mendorong munculnya gerakan pencerahan (enlightenment) yang mencakup
pembaruan ilmu pengetahuan, termasuk perbaikan ekonomi yang dimulai sekitar
abad XVII-XVIII. Salah satu hasilnya adalah masyarakat liberal kapitalis.
Namun gerakan pencerahan tersebut juga membawa dampak
negatif. Munculnya semangat liberal kapitalis membawa dampak negatif yang
mencapai puncaknya pada abad ke-XIX, antara lain eksploitasi buruh, dan
penguasaan kekuatan ekonomi oleh individu. Kondisi ini yang mendorong
dilakukannya koreksi lanjutan terhadap sistem politik dan ekonomi, misalnya
pembagian kekuasaan, diberlakukannya undang-undang anti monopoli, dan hak buruh
untuk mendapatkan tunjangan dan mendirikan serikat buruh.
a. Sistem liberal kapitalis awal/klasik.
Sistem
ekonomi liberal kapitalis klasik berlangsung sekitar abad ke-XVII sampai
menjelang abad ke-XX, dimana individu/swasta mempunyai kebebasan penguasaan
sumber daya maupun pengusaan ekonomi dengan tanpa adanya campur tangan
pemerintah untuk mencapai kepentingan individu tersebut, sehingga mengakibatkan
munculnya berbagai ekses negatif diantaranya eksploitasi buruh dan penguasaan
kekuatan ekonomi. Untuk masa sekarang, sitem liberal kapitalis awal/klasik
telah ditinggalkan.
b. Sistem liberal kapitalis modern.
Sistem
ekonomi liberal kapitalis modern adalah sistem ekonomi liberal kapitalis yang
telah disempurnakan. Beberapa unsur penyempurnaan yang paling mencolok adalah
diterimanya peran pemerintah dalam pengelolaan perekonomian. Pentingnya peranan
pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pengawas jalannya perekonomian. Selain
itu, kebebasan individu juga dibatasi melalui pemberlakuan berbagai peraturan,
diantaranya undang-undang anti monopoli (Antitrust Law). Nasib pekerja
juga sudah mulai diperhatikan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang
melindungi hak asasi buruh sebagai manusia. Serikat buruh juga diijinkan
berdiri dan memperjuangkan nasib para pekerja. Dalam sistem liberal kapilalis
modern tidak semua aset produktif boleh dimiliki individu terutama yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, pembatasannya dilakukan
berdasarkan undang-undang atau peraturan-peraturan. Untuk menghindari perbedaan
kepemilikan yang mencolok, maka diberlakukan pajak progresif misalnya pajak
barang mewah.
Negara-negara
yang menganut sistem ekonomi liberal kapitalis modern antara lain :
1) Benua
Amerika, antara lain Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Kuba,
Kolombia, Ekuador, Kanada, Maksiko, Paraguay, Peru dan Venezuela.
2) Benua Eropa, sebagian
besar menganut sistem ini antara lain Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia,
Cekoslovakia, Denmark, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda, Polandia,
Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris.
3) Benua Asia, antara
lain India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand,
Turki, Malaysia, Singapura.
4)
Kepulauan
Oceania, antara lain Australia dan Selandia Baru.
5) Benua Afrika, sistem
ekonomi ini terbilang masih baru. Negara yang menganut antara lain Mesir,
Senegal, Afrika Selatan.
Era Pendudukan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang kehidupan ekonomi
rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat berawal dari sistem bumi
hangus Hindia Belanda ketika mengalami kekalahan dari Jepang pada bulan Maret
1942. Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah
dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan
Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat
transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan musuh
dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan, bank-bank,
pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan lainlain. Hal ini
dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar negaranya
tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang
diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang
dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan
perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk
pelumas.
Pola ekonomi perang yang dilancarakan oleh Tokyo
dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan
perangnya. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan autarki (berdiri di atas
kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang.
Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3
lingkungan dan daerah Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang)
dibagi atas 3 lingkungan autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa
merupakan bagian daripada “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”
mempunyai dua tugas, yakni:
·
Memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
·
Mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan
perang.
Seluruh kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan Jepang
untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun dari rakyat untuk persediaan
prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk keperluan perang jangka panjang.
Beberapa tindakan Jepang dalam memeras sumber daya alam dengan cara-cara
berikut ini :
1. Petani wajib
menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung untuk keperluan konsumsi militer
Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita kelaparan.
2. Penebangan
hutan secara besar-besaran untuk keperluan industri alat-alat perang, misalnya
kayu jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan hutan ini mengakibatkan
banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di samping itu erosi dapat
mengurangi kesuburan tanah.
3. Perkebunan-perkebunan
yang tidak ada kaitannya dengan keperluan perang dimusnahkan, misalnya
perkebunan tembakau di Sumatera. Selanjutnya petani diwajibkan menanam pohon
jarak karena biji jarak dijadikan minyak pelumas mesin pesawat terbang.
Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan kehilangan waktu mengerjakan
sawah. Sedangkan untuk perkebunan-perkebunan kina, tebu, dan karet tidak
dimusnahkan karena tanaman ini bermanfaat untuk kepentingan perang.
4. Penyerahan
ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi pemilik ternak. Kemudian ternak dipotong
secara besar-besaran untuk keperluan konsumsi tentara Jepang. Hal ini
mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan untuk pertanian, yakni
untuk membajak. Dengan dua tugas inilah maka serta kekayaan pulau Jawa menjadi
korban dari sistem ekonomi perang pemerintah pendudukan Jepang.
Cara yang ditempuh untuk pengerahan tenaga Romusha ini
dengan bujukan, tetapi apabila tidak berhasil dengan cara paksa. Untuk menarik
simpati penduduk, Jepang mengatakan bahwa Romusha adalah pahlawan pekerja yang
dihormati atau prajurit ekonomi. Mereka digambarkan sebagai orang yang sedang
menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Sedangkan
panitia pengerah Romusha disebut Romukyokai. Di samping rakyat, bagi para
pamong praja dan pegawai rendahan juga melakukan kerja bakti sukarela yang
disebut Kinrohoshi. Pemimpin-pemimpin Indonesia membantu pemerintah Jepang
dalam kegiatan Romusha ini. Bung Karno memberi contoh berkinrohonsi (kerja
bakti), Bung Hatta memimpin Badan Pembantu Prajurit Pekerja atau Romusha. Ali
Sastroamijoyo, S.H. mempelopori pembaktian barang-barang perhiasan rakyat untuk
membantu biaya perang Jepang.
Akibat dari Romusha ini jumlah pria di kampung-kampung
semakin menipis, banyak pekerjaan desa yang terbengkelai, ribuan rakyat tidak
kembali lagi ke kampungnya, karena mati atau dibunuh oleh Jepang. Coba
bandingkan dengan rodi pada jaman penjajahan Belanda! Untuk mengawasi penduduk
atas terlaksananya gerakan-gerakan Jepang maka dibentuklah tonarigumi (rukun
tetangga) sampai ke pelosok pelosok pedesaan. Dengan demikian sumber daya
manusia rakyat Indonesia khususnya di Jawa dimanfaatkan secara kejam untuk
kepentingan Jepang. Akibat dari tekanan politik, ekonomi, sosial maupun
kultural ini menjadikan mental bangsa Indonesia mengalami ketakutan dan
kecemasan.
Cita-Cita
Ekonomi Merdeka
Sejak berdirinya negara RI, sudah
banyak tokoh-tokoh negara pada saat itu yang telah merumuskan bentuk
perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun
diskusi kelompok. Seperti Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide,
bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai cita-cita tolong menolong adalah
koperasi namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara
koperasi, pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar ekonomi
koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi
Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun
1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam campuran.
Menurut UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia tercantum dalam pasal-pasal 23,
27, 33 & 34. Demokrasi Ekonomi dipilih karena memiliki ciri-ciri positif
yang di antaranya adalah (Suroso, 1993) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang di kuasai oleh negara.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengawasan terhadap
kebijaksanaannya serta sumber-sumber kekuatan dan keuangan negara digunakan
dengan permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Warga negara memiliki kebebasan
dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan
pekerjaan dan kehidupan yang layak. Hak milik perorangan diakui dan
pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Dalam perekonomian Indonesia tidak mengijinkan adanya
:
1.
Free fight liberalism, yaitu adanya suatu kebebasan
usaha yang tidak terkendali.
2.
Etatisme, yaitu keikutsertaan pemerintah yang terlalu
dominan.
3.
Monopoli,suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada
satu kelompok tertentu.
Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian
Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, Demokrasi Ekonomi dan campuran,
namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah
terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950an-1957an merupakan bukti sejarah
adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan
sistem etatisme, yang mewarnai sistem perekonomian Indonesia pada tahun 1960an
sampai dengan masa orde baru.
Walaupun demikian, semua program dan rencana tersebut
tidak memberikan hasil yang berarti bagi perekonomian Indonesia.
Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan adalah:
· Program-program tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang
relatif bukan di bidangnya, namun oleh tokoh politik, dengan demikian
keputusan-keputusan yang dibuat cenderung mentitikberatkan pada masalah
politik, bukan masalah ekonomi.
· Kelanjutan dari akibat di atas, dana negara yang
seharusnya di alokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru di
alokasikan untuk kegiatan politik & perang
· Faktor berikutnya adalah terlalu pendeknya masa kerja
setiap kabinet yang dibentuk (setiap parlementer saat itu). Tercatat tidak
kurang dari 13x kabinet yang berganti pada ssat itu. Akibatnya program-program
dan rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan
dengan tuntas.
· Disamping itu program dan rencana yang disusun kurang
memperhatikan potensi dan aspirasi dari berbagai pihak. Selain itu, putusan
individu dan partai lebih di dominankan daripada kepentingan pemerintah dan negara.
· Cenderung terpengaruh untuk menggunakan sistem
perekonomian yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia liberalis
(1950- 1957) dan etatisme (1958- 1965)
Ekonomi
Indonesia tiap Pemerintahan
Orde Lama
-
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi dan keuangan pada
masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
·
Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah
RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang.
·
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI
(Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober
1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter,
banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
-
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal,
karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip
liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik
yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih
lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha
Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia
yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
- Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
- Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
- Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
- Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr. Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
- Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
-
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden
5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
- Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut: Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
- Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
- Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai
tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan
Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi
dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang
lain.
Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan
stabilisasi politik menjadi prioritasutama. Program pemerintah berorientasi
pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada
awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun. Setelah melihat
pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori
Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan
menentukan sendiri.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di
segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan
dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha,
partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan.
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang
(25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan
lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil
swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan
rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi,
dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan
preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia
minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta
pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi
antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat
terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu,
pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan
nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional
sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari
ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat
secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan
berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
Masa Transisi Reformasi (era
BJ.Habibie)
Krisis ekonomi mempunyai dampak yang sangat
memprihatinkan terhadap peningkatan pengangguran, baik di perkotaan maupun di
pedesaan, daya beli masyarakat menurun, pendidikan dan kesehatan merosot serta
jumlah penduduk miskin bertambah oleh karena itu muncul kebijakan Jaring
Pengaman Sosial (social safety net). Yang menyebabkan suatu prestasi yang
mengagumkan yakni nilai tukar rupiah dari 16.000 menjadi 6.000 rupiah.
Pemerintahan Reformasi (era Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid)
Terjadi banyak keanehan dan tidak terdapat kebijakan perekonomian.Pada
masa Gus Dur, rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC
turun menjadi DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah
imbas dari krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya.
Era Reformasi
Era reformasi dimulai ketika orde baru berakhir. B. J.
Habibie yang mengawali masa reformasi membuat kebijakan yang diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman
Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN, pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Pemerintahan dilanjutkan
oleh Megawati Soekarnoputri yang mengalami masalah-masalah mendesak untuk
dipecahkan, yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Pada masa kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat kebijakan kontroversial, yaitu mengurangi
subsidi BBM dan Bantuan Langung Tunai (BLT). Kebijakan untuk meningkatkan
pendapatan perkapita ditempuh dengan cara mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang
investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Pada masa reformasi perekonomian Indonesia berangsur
membaik, harga-harga barang pokok juga kembali normal. Perkembangan di era
Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga
belum menemukan suatu arah yang jelas. Setidaknya reformasi telah membawa
Indonesia untuk menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin
terjerumus dalam kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya. Dan pada saat ini
memang Indonesia sudah mulai berorientasi ke luar dalam hal menjalin kerjasama
dengan dunia luar di bidang ekonomi. Memang pada kenyataannya, apabila Indonesia
menerapkan pembangunan dalam bidang ekonomi yang berorientasi ke luar, hal
tersebut bias merubah tatanan baru dan menciptakan stabilitas perekonomian di
Indonesia, walaupun tidak sepenuhnya stabil dalam aspek-aspek lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1 komentar:
Saya ucapkan Terimakasih kepada pembuat artikel ini, artikel ini sangat bermanfaat dan tentu saja
berisi informasi yang sangat bermanfaat untuk semua pembaca di blog ini. Update terus dan tetap semangat gan.
Sukses selalu untuk Anda kunjungi web kami untuk menambah ilmu Bandar Judi dan Casino Online Terpercaya
Di Indonesia WWW.SALAMPOKER.COM Terima kasih
Posting Komentar