Selasa, 04 Juni 2024

[Review] Thomas Kuhn : The Structure of Scientific Revolutions

Thomas Samuel Kuhn, merupakan seorang sejarawan, yang juga merangkap menjadi fisikawan dan filsuf kelahiran Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat pada 18 Juli 1922, 102 tahun silam.


Ia menamatkan pendidikan menengah atasnya di The Taft School, Watertown pada tahun 1940, sejak lulus dari bangku pendidikan menengah atas itulah ia menjadi sangat tertarik dengan ilmu fisika dan matematika. Kemudian pada 1943 dia memperoleh gelar sarjananya di bidang fisika dan melanjutkan pendidikan master serta PhD berturut-turut pada tahun 1946 dan 1949. Semua pendidikan tinggi tersebut ia tempuh Harvard University.

Thomas Kuhn menjadi sangat dikenal oleh masyarakat luas setelah ia meluncurkan buku The Structure of Scientific Revolutions, yang kemudian dinilai sangat berpengaruh dan fenomenal ketika menjadi rujukan dalam penelitian ilmu pengetahuan yang berkembang selanjutnya.


Dalam buku yang ia lahirkan di tahun 1962 tersebut, Kuhn secara garis besar memaparkan bagaimana struktur dalam revolusi sains menurutnya terbagi ke dalam beberapa fase, yang akan kita bahas pada paragraf selanjutnya.

Latar belakang Kuhn dalam proses penulisan buku The Structure of Scientific Revolutions bukanlah hanya dilandasi kegelisahannya semata.

Kuhn memiliki pandangan unik tersendiri tentang cara kerja sains, hal itu dapat kita telusuri kembali ke pencerahan yang ia alami pada tahun 1947 ketika membaca karya ilmiah Aristoteles dalam persiapannya untuk mengajar mata kuliah Sejarah Sains di Harvard.

Kuhn tidak dapat memahami bagaimana orang yang jelas-jelas brilian bisa salah dalam hal fisika dasar. Maka kemudian pencerahan yang ia peroleh adalah bahwa Aristoteles tampaknya sepenuhnya salah jika dilihat dari sudut pandang pemahaman kita tentang fisika saat ini. Kuhn menyadari bahwa, dalam arti tertentu, Aristoteles hidup di dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Konsep dan kategori dasar yang mendasari pemahaman modern kita tentang fisika tidak tersedia bagi Aristoteles. Misalnya, istilah dasar “gerak” mempunyai arti yang sangat berbeda bagi Aristoteles dibandingkan dengan Isaac Newton.

Kesadaran ini membuatnya kemudian berkonsentrasi pada sejarah sains, lalu ia mengambil posisi di Universitas California Berkeley sebagai profesor sejarah sains di departemen filsafat pada tahun 1956. Setahun kemudian, Kuhn menerbitkan buku pertamanya, The Copernicus Revolution: Astronomy Planet. Kuhn juga meneliti teori materi abad kedelapan belas dan sejarah awal termodinamika. Rekan-rekannya di Universitas Berkley seperti Stanley Cavell, memperkenalkan Kuhn pada karya-karya Wittgenstein, sehingga memicu minatnya terhadap filsafat ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1962, Kuhn menerbitkan karya penting The Structure of Scientific Revolutions, yang diakui sebagai salah satu buku paling berpengaruh (dan kontroversial) yang pernah ditulis tentang sejarah dan praktik sains. Pada tahun 1964, Kuhn menerima posisi sebagai Profesor Filsafat dan Sejarah Sains di Universitas Princeton dan pada tahun 1979 menjadi Profesor Filsafat Rockefeller di Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Dia tetap di MIT hingga tahun 1991, setelah itu dia menjadi profesor emeritus hingga kematiannya pada tahun 1996.

Dalam buku The Structure of Scientific Revolutions, Kuhn menjelaskan revolusi yang terjadi dalam sains terjadi melalui beberapa tahapan sebagaimana berikut:

Gambar: Ilustrasi hirarki pergeseran paradigma Thomas Kuhn

 

Sains Normal

Kuhn berargumen bahwa dalam fase sains normal, semua berjalan seperti biasa saja. Para ilmuwan yang melakukan penelitian melakukan aktivitasnya sepanjang hari tanpa terobosan atau gagasan baru. Kuhn menilai bahwa ilmuwan hanya berupaya untuk membuktikan teori atau paradigma yang sudah ada.

Kuhn juga memberi perumpaan terhadap fenomena sains normal ini sebagai pemecahan teka-teki. Teka-teki yang Kuhn maksud adalah proses sains dari paradigma yang sudah ada dan yang kemudian akan dipecahkan menggunakan sebuah teori tertentu. Namun dalam aktivitas sehari-hari tersebut, tidak jarang ilmuwan menemukan hambatan yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan paradigma maupun teori yang sudah ada.

Hambatan dalam aktivitas sains normal tersebutlah yang selanjutnya ia sebut sebagai Anomali.


Anomali

Kuhn menilai bahwa anomali ialah gambaran ketidakselarasan antara kenyataan dengan paradigma-paradigma yang digunakan para ilmuwan. Anomali dapat terjadi karena paradigma tersebut tidak mampu memberikan penjelasan dan menjawab persoalan yang timbul dan akhirnya menciptakan penyimpangan.

Anomali-anomali ini kemudian apabila semakin menumpuk dan semakin sulit dipecahkan, maka akan menimbulkan krisis. Selanjutnya krisis tadi akan menimbulkan pertanyaan terhadap paradigma yang sudah ada. Apabila para ilmuwan mempertanyakan paradigma tersebut, itulah tanda terjadinya pergeseran paradigma.

Kemudian banyak ilmuwan mencoba mempertahankan teori yang sudah ada dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya, menurut Kuhn, seorang ilmuwan akan memiliki pandangan yang intuitif dan dalam seketika akan lahir teori ilmiah baru yang mampu menjelaskan anomali tersebut.

 

Krisis

Akibat yang muncul karena banyaknya anomali dalam penelitian adalah timbulnya krisis. Pada fase krisis ini, paradigma mulai diragukan kebenarannya. Kemudian mengantarkan jalan untuk menuju fase revolusi. Pada fase revolusi lah kemudian akan muncul paradigma II yang memiliki jawaban atas persoalan yang muncul dari paradigma sebelumnya.

Gambaran siklus tadi menunjukkan bahwa dalam revolusi sains, sebuah paradigma baru tidak akan muncul tanpa didahului dengan munculnya krisis. Walaupun nanti akan ditemukan paradigma baru, keberadaan paradigma lama pun tetap dianggap penting perannya sehingga memungkinkan ilmuan untuk menjawab suatu anomali yang tidak dapat dipecahkan dengan teori yang sudah ada sebelumnya.

 

Sains Luar Biasa

Fase sains luar biasa ditandai dengan pergeseran paradigma lama ke paradigma baru. Fase ini pun dinilai lebih ‘melonggarkan’ aturan dalam penelitian, dengan melakukan lebih banyak eksperimen dan kreativitas, mencoba eksperimen baru dan unik, dan dengan melakukan dekonstruksi terhadap stereotip yang ada, serta pembacaan filosofi yang berbeda.

Kuhn menulis bahwa, ‘Meningkatnya artikulasi dalam persaingan, kemauan untuk mencoba apa pun, ekspresi ketidakpuasan yang jelas, penggunaan filsafat dan perdebatan mengenai hal-hal mendasar, semua ini merupakan gejala transisi dari penelitian normal ke penelitian luar biasa’.

Jika hal ini berhasil, maka akan terjadi perubahan total dalam cara pandang dan perubahan paradigma. Pergeseran paradigma ibarat pergeseran persepsi dari kelinci menjadi bebek dalam gambaran Gestalt. Tidak ada yang berubah selain dari sudut pandang psikologis Anda – dua orang dengan kesan sensorik yang sama dapat melihat hal yang berbeda.

Gambar: Ilusi optik persepsi kelinci dan bebek oleh Gestalt


Seiring waktu, Kuhn meyakinkan bahwa dengan semakin banyaknya ilmuwan, semakin banyak eksperimen yang dilakukan, maka paradigma baru akan terbentuk.

Kuhn mengartikan paradigma sebagai suatu cara pandang, prinsip dasar, metode-metode, dan nilai-nilai dalam memecahkan suatu masalah yang dipegang teguh oleh suatu komunitas ilmiah tertentu.

Kuhn mencatat bagaimana pergeseran paradigma biasanya dipicu oleh generasi muda yang kreatif dan eksentrik, atau ilmuwan yang baru mengenal bidang tersebut, yaitu orang-orang yang belum terlalu melekat pada paradigma yang diasumsikan. Mereka melihat segala sesuatu dengan cara yang benar-benar baru.

 

Revolusi Ilmiah

Kuhn menyebut proses dimana satu paradigma menggantikan paradigma lain sebagai “revolusi ilmiah”.

Revolusi ilmiah tersebut Kuhn contohkan dengan perubahan perspektif saat Nicolaus Copernicus pada tahun 1543 mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, hal tersebut mencabut kepercayaan berabad-abad terhadap alam semesta geosentris yang dikemukakan oleh Ptolemeus, bahwa matahari berputar mengelilingi bumi.

Melalui contoh dan analisisnya, Kuhn menarik beberapa kesimpulan tentang hakikat revolusi ilmiah, yakni:

1.  Kuhn menegaskan bahwa dalam fase normal, walaupun menghambat penemuan baru, pada akhirnya memungkinkan terjadinya revolusi ilmiah. Untuk mengetahui adanya anomali, para ilmuwan perlu mengetahui hal-hal spesifik apa yang diharapkan, dan itulah yang diajarkan ilmu pengetahuan normal kepada mereka.

2.  Kuhn mengamati bahwa setiap paradigma baru berusaha menghancurkan dan menggantikan paradigma lama, bukan membangun paradigma baru. Inilah sebabnya Kuhn memandang kemajuan ilmu pengetahuan bersifat sirkular, bukan linier.

 Misalnya, filsuf Yunani kuno Aristoteles percaya bahwa benda memiliki sifat bawaan yang menyebabkan benda bergerak dengan cara tertentu. RenĂ© Descartes mempertanyakan teori Aristoteles, percaya bahwa semua gerak adalah hasil dari tumbukan berbagai zat satu sama lain. Kebanyakan orang kemudian menolak konsepsi Aristoteles—sampai Isaac Newton berteori bahwa gravitasi adalah sifat bawaan, sehingga para pengikutnya lebih sejalan dengan Aristoteles dibandingkan Descartes. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak bergerak dalam garis lurus, melainkan bergerak dalam sesuatu seperti lingkaran.

3.  Kuhn berpendapat bahwa tidak ada satu teori atau paradigma ilmiah yang secara inheren lebih akurat atau lebih baik dari yang lain. Sebaliknya, karena setiap teori merupakan produk dari persepsi dan pertanyaan “sewenang-wenang” yang menentukan masanya.

Pergeseran paradigma pada dasarnya adalah perubahan dalam cara ilmuwan memandang dan mengalami dunia. Itulah sebabnya satu pandangan dunia atau paradigma hampir mustahil untuk diselaraskan dengan yang lain (yang disebut Kuhn “tidak dapat dibandingkan”). Selain itu, Kuhn menekankan bahwa ilmuwan adalah manusia, dan paradigma baru muncul bukan karena paradigma tersebut memiliki nilai lebih, namun karena paradigma tersebut lebih persuasif.

Dapat disimpulkan bahwa penjelasan mengenai teori merujuk pada buku The Structure of Scientific Revolutions adalah sebuah dasar pemikiran yang dihasilkan oleh pergeseran paradigma, yang dapat dibuktikan melalui penelitian ilmu pengetahuan terdahulu, dan memiliki sifat tidak lebih baik atau tidak dapat dibandingkan, karena justru akan menjadi penguat dasar suatu keilmuan dengan keilmuan lainnya.